-->

IMPLIKASI PERTUMBUHAN MEDIA TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA

IMPLIKASI PERTUMBUHAN MEDIA TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA
Oleh Admin

  1. Pengaruh Media Massa terhadap Perubahan Budaya
Harrold Innis dan Marshal McLuhan adalah Sarjana modern yang mengkaji hubungan antara alat komunikasi yang terdapat dimasyarakat dan bagaimana alat komunikasi itu berperan membentuk karakter serta bidang sosial mereka, seperti bidang politik dan sosial budaya. McLuhan yang banyak belajar dari Innis, mengembangkan ide pada periode modern. Ia mulai melihat, bahwa pengaruh sistem percetakan dapat menyebarkan ide-ide serta pengetahuan (Rowland, 1994 : 2).
Ini terlihat, saat Guttenberg (1450) menemukan huruf cetak yang dapat dipindah-pindahkan, secara langsung memacu percetakan buku di Eropa. Pada tahun 1500, jutaan buku dicetak. Dari kenyataan ini, McLuhan menyatakan bahwa media elektronik modern, khususnya radio, televisi, fotografi dan film dapat membentuk pola pikir masyarakat modern. Ide itu berpengaruh di Amerika Utara dan Eropa. Apa yang dilakukan media dan implikasinya dalam konteks global, media telah membuat sesuatu yang pertama dalam sejarah mungkinya sistem komunikasi yang cepat (instant) antara sejumlah titik di dunia yang disebut McLuhan sebagai the global village (desa global) .
Fenomena percepatan transformasi ide disebut Konetjaraningrat sebagai difusi, ketika unsur-unsur kebudayaan yang timbul di salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan seringkali tanpa kontak antar individu-individu. Ini disebabkan karena adanya alat-alat penyiaran yang bekerja efektif, seperti surat kabar, majalah, radio, buku, film dan televisi (Koentjaraningrat, 1990: 246-247).
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan, juga ditimbulkan oleh peralihan pekerjaan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri. Di akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an, orang-orang dalam kelompok besar bermigrasi dari pekerjaan sektor pertanian di desa-desa ke pekerja industri di sejumlah kota. Urbanisasi ini ditumbulkan oleh media massa, karena secara serempak mereka mendapatkan informasi tentang apa yang akan mereka lakukan pada masa akan datang bagi kehidupan mereka melalui media massa. Migrasi ini menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Proses yang dapat terjadi dari pertemuan budaya ini adalah akulturasi budaya, dan sekaligus proses asimilasi (Kontjaraningrat, 1990: 247-255)
Saat ini, pertemuan budaya tidak lagi terbatas pada integrasi kelompok masyarakat yang berbeda, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh media massa. Membanjirnya citra-citra simbolis pada dekade ini, telah menimbulkan perubahan-perubahan radikal pada sintetis-sintetis budaya di seluruh dunia. Pertemuan budaya dan proses mempelajari budaya disebabkan juga oleh banyaknya waktu digunakan manusia untuk berinteraksi dengan media massa. Media komunikasi dan teknologi adalah komponen yang amat penting dalam kehidupan manusia. Hasil penelitian menunjukkan, orang dewasa Amerika menghabiskan empat jam sehari untuk menonton televisi, tiga jam untuk mendengarkan radio, setengah jam untuk membaca surat kabar. Orang-orang Amerika juga menghabiskan waktu setengah jam setiap hari untuk berbicara lewat telepon, dan dua jam sehari untuk komputer pribadinya. Belum terhitung waktu yang dihabiskan untuk menonton film, menonton video di rumah, mendengarkan musik, membaca buku-buku dan majalah, dan komunikasi tertulis.
Dari sini dapat dilihat, bahwa lebih dari separuh waktu seseorang dalam sehari, dihabiskan untuk pertukaran informasi. McLuhan dengan mengembangkan ide Innis menghasilkan kesimpulan, bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra manusia. Dengan media massa, orang dapat memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat, dengan tidak perlu mengalaminya secara langsung. Dengan media itu pula, manusia dapat mengembangkan pola pikir dan perilaku mereka.

  1. Bentuk-bentuk Perubahan Budaya
Budaya dalam pandangan antropolog, adalah seluruh yang disetujui oleh masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kontribusi pewarisan tingkah laku dalam masyarakat biasanya dilakukan oleh institusi formal, seperti gereja dan Negara, dan saat ini dilakukan oleh media (Wilson, 2002: 4). Dikaitkan dengan perkembangan media massa, (Wilson, 2002) membagi tahapan-tahapan perkembangan budaya pada:
  1. Tahap Elitis
Beberapa kurun waktu yang lampau, budaya masih dibedakan dalam kategori jelas, yaitu Budaya Elit (Elite Culture) yakni budaya dari orang-orang terdidik, aristokrat dan orang-orang kaya. Budaya elit kadang-kadang dikategorikan sebagai budaya tinggi (high culture). Hingga kurang dari 200 tahun yang lalu, terdapat perbedaan dan pemisahan antara high culture dan budaya lainnya yakni budaya kelas petani, yang dikenal dengan folk culture (budaya rakyat). Kelas elit, adalah orang-orang yang hidupnya dikelilingi seni, buku-buku dan musik klasik. 
  1. Tahap Populer
Pada abad ke-19, perbedaan antara budaya elit dan budaya rakyat menjadi kabur dengan dibangunnya demokrasi politik, pendidikan masyarakat secara massa dan Revolusi Industri. Kekuatan ini yang menciptakan Budaya Populer dan Budaya Massa. Keberadaan media massa juga merangsang Budaya Populer (Staubhaar dan La Rose, 1996: 4). Budaya Populer, didefinisikan Ray B. Browne sebagai:
The cultural world around us. Our attitudes, habits and actions; how we act why we act. What we eat, wear, buildings, roads and means to travel, out entertainment, sport, our politicts, religion, medical practices, our beliefs and activities and what shapes and control them. It is, in other words, to us what water is to fish; it is the worlds, we live in”
(Wajah dunia di sekeliling kita. Sikap kita, kebiasaan dan perilaku; bagaimana kita bertindak dan mengapa kita bertindak. Apa yang kita makan, pakai, bangunan, jalan-jalan dan apa maksud perjalanan kita, hiburan-hiburan kita, olah raga, politik kita, dan aktivitas-aktivitas, bagaimana bentuk dan cara mengontrolnya. Dengan kata lain, seperti air dan ikan yang tidak dapat dipisahkan, seperti dunia yang kita tinggali).
Penggunaan istilah Budaya Populer dilukiskan sebagai segala yang mengelilingi kehidupan kita setiap hari. Budaya Populer adalah budaya yang dengannya kita berpedoman terhadap busana, mode, dan seluruh kegiatan yang kita lakukan. Budaya Populer yang juga disebut dengan Budaya Massa, dimungkinkan oleh kombinasi teknologi industri dan ekonomi, memasuki produksi massa budaya untuk sejumlah besar audience. Budaya yang dipelihara sejak lama oleh orang-orang yang terpelajar dan orang-orang elit kaya, menjadi produk budaya massal lewat buku-buku, surat-surat kabar, majalah-majalah, rekaman-rekaman, CD, bioskop, radio, dan media massa lainnya. Karena industrialisasi media pada dasarnya terciptanya budaya massa (Staubhaar dan LaRose, 1996: 54-56).
Paul Willis (1990), menamakan media massa sebagai “media budaya”, karena media massa mengimplikasikan sebuah sumber “menghasilkan secara massal” pesan-pesan yang dikirimkan kepada “khalayak massa”. Dalam benak sejumlah kritikus, kondisi ini telah menciptakan “budayamassa” yang lebih rendah mutunya (Paul Willis dalam James Lull, 1998: 194). Kekuatan media massa yang besar dalam melakukan transformasi pesan-pesan ini, sehingga tidak berlebihan bila McLuhan menyebut “the medium is massage” (media adalah pesan) (McLuhan dalam Rowland Lorimer, 1994: 4).
  1. Tahap Spesialisasi
Tahap spesialisasi dimulai di akhir abad XX ditandai dengan banyaknya terobosan media massa Amerika Serikat dalam mencapai tahap ini. Tahap ini digambarkan futurolog Alvin Toffler sebagai ”demassifikasi media massa”. Pada tingkatan ini, media massa dikonsumsi sepotong-sepotong oleh populasi, tiap-tiap orang dengan ketertarikan dan aktivitas budaya sendiri. Kondisi ini dimungkinkan dengan banyaknya pilihan masyarakat terhadap media, serta untuk televisi misalnya, orang dapat memilih program yang disenangi hanya dengan menekan remote kontrol.

Bentuk lain dari perubahan budaya yang diakibatkan oleh media massa adalah bahwa media massa menciptakan imperialisme budaya dan kekuasaan budaya (Staubhaar, 1996: 138-139). Hal ini dimungkinkan karena media massa dewasa ini mudah menerobos batas-batas nasional dan budaya. Peran media massa dalam perubahan budaya, selanjutnya dikemukakan oleh Lull (1998: 186-192), sebagai peran transkulturasi, hibridasi dan pribumisasi.
Transkulturasi, mengacu pada sebuah proses ketika bentuk-bentuk budaya secara harfiah bergerak melalui ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan kebudayaan lain, saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk-bentuk budaya baru. Proses transkulturasi dihasilkan oleh proses perpindaham fisik orang-orang dari satu lokasi geografis ke lokasi geografis lainya. Tetapi kini, pelintasan budaya lebih banyak dimungkinkan oleh media massa dan industri kebudayaan. Teknologi modern membangun kembali pemotong jarak budaya yang esensial, yakni ruang dan waktu. Dengan teknologi informasi, transmisi, penerimaan informasi dan hiburan dari satu bagian dunia ke bagian dunia lain menghasilkan sintetis-sintetis budaya baru.
Sementara, transkulturasi menghasilkan hibrida budaya, yakni penyatuan (fusi) bentuk-bentuk budaya. Bentuk-bentuk dan genre-genre hibrida menurut definisi dapat dikatakan Budaya Pop (Lull, 1998: 187). 
Pribumisasi,merupakan bagian dari hibridasi. Pribumisasi berarti bahwa bentuk-bentuk budaya impor menerima unsur-unsur lokal yang menonjol. Ini dapat terlihat misalnya pada jenis musik tertentu yang masuk ke Indonesia dan tampil sebagai musik jenis baru. Misalnya musik rap, yang liirknya sudah mengacu pada kepribadian, kondisi dan situasi lokal Indonesia.


Bahan Bacaan :
  1. Lull, James. 1998.  Media, Communication and CultureA Global Approach. Diterjemahkan oleh Setiawan Abadi : ’Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global’. Cetakan I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  2. Staubhaar, Joseph dan Robert LaRose. 1996. Communications, Media in Society. Belmont, Wadworth Publishing Company.
  3. Wilson, Stan Le Roy. 1993. Mass Media/Mass Culture. New York Time Company.
  4. Tan, Melly G. 1997. Masalah Perencanaan Penelitian. Dalam Koentjaraningrat ‘Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Edisi Ketiga, Cet. XIV; Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.


Previous
Next Post »